Kamis, 07 September 2017

Cerpen "30 Hari Untuk Hatinya"







30 Hari untuk Hatinya

Cepen : Lindawati RA

            Siapa yang tak senang dijodohkan dengan lelaki yang lahir dari anak orang yang berada serta berpendidikan. Tak perlu banyak syarat. Kedua orangtua dari pihak wanita langsung mengiyakan.
            “Bagaimana, Bapak Ismail dan Ibu Julaiha dengan perjodohan ini?”
            “Kalau kami sebagai orangtua Laras sih setuju-setuju saja, Pak, Bu. Apalagi kita ini kan sudah lama kenal, begitu juga dengan Larasdan Nirwan, hanya saja mereka sudah lama tak jumpa,” sejak tadi Laras hanya tertunduk diam menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus.
            “Bagaimana, Nak Laras, apa Nak Laras tidak keberatan dengan perjodohan ini?” tanya Pak Haryo, ayah Nirwan.
            “Sa, saya bagaimana Ibu dan Bapak saja, Paman,” jawab Laras terbata. Perbincangan hangat namun juga serius itu berakhir menggembirakan. Serentak tawa renyah pecah berhamburan  memenuhi ruang tamu sederhana itu.
            Usai  pembicaraan serius itu, Laras langsung diboyong ke kota oleh ayah dan ibu Nirwan. Segala keberangkatan berjalan dengan lancar hingga sampai dengan selamat ke tempat tujuan. Laras tak kunjung reda jua hatinya. Berdebar. Karena akan bertemu dengan sang calonnya yang terakhir kalinya ia bertemu saat usianya dua belas tahun, dan Nirwan tiga tahun lebih tua darinya. Tak disangkanya orangtua Nirwan akan menjodohkan putra mereka dengannya. Padahal Laras hanyalah gadis desa tamatan SMA.

Sudah seminggu Laras berdiam di rumah keluarga Pak Haryo.Sosok Nirwan tak lagi hanya dalam bayangan-bayangan Laras saja. Setiap hari ia telah melihat rupa dan wujudnya. Tampaklah Nirwan, laki-laki yang berpendidikan dan berilmu, cerah berkharisma. Namun sikapnya dingin dan cuek pada Laras. Laras yang diceritakan sejak awal bagaimana sosok Nirwan yang sekarang,ia sudah jauh berharap. Dan harapan itu kepalang tanggung, kuncup bunga cintanya telah mekar.
Seminggu datar. Mereka berpapasan saja, bicara seadanya, melihat sekenanya. Tiada ubahnya sikap Nirwan pada Laras. Padahal ia menunggu-nunggu simpatik itu. Hingga akhirnya membuat Laras tak tahan lagi, ia nekat untuk menemui Nirwan di ruang kerjanya.
            Tok..tok..tok...!
            “Masuk!” Dengan nada enteng tanpa bertanya siapa, Nirwan menyilakannya untuk masuk. Di ruang kerjanya, seperti biasanya Nirwan masih sibuk dengan berkas-berkasnya.
            “Silakan diminum Mas, kopinya,” terdengar suara lembut mengisi ruangan itu, berbeda dari suara biasanya, suara ibunya, Halimah.
            “Laras?” Nirwan terlonjak kaget, wajahnya mendadak pucat, “Kenapa, Dek Laras yang mengantarkan kopi ini, Ibu ke mana?”
            “Bibi Halimah sudah tidur, Mas. Tadi beliau berpesan agar saya membuatkan kopi untuk Mas Nirwan,” jelas Laras dengan tutur kata yang teratur dan sopan.
            “O, o...begitu, yasudah terimakasih. Sebaiknya, Dek Laras pun segera tidur,sudah larut  malam,” pinta Nirwan seolah ia menunjukkan sikap pedulinya pada Laras. Masih tersisa rasa kagetnya, namun ia tetap berusaha tenang. Dalam pembicaraannya dengan Laras, Nirwan tak pernah beradu tatap dengannya. Nirwan terlalu dingin, atau mungkin takut, entahlah. Ia menyadari tatapan mata Laras yang dapat menembus jantungnya itu.
            “Saya belum mengantuk, Mas. Saya ingin di sini barang sebentar bersama Mas Nirwan,” ucapnya berani, namun masih halus dan sopan tak terdengar nada nakal dari tuturnya. Nirwan mendadak kelabakkan. Kali ini ia beranikan diri untuk menatap Laras, untung saja gadis itu menunduk.
            “Ta, tapi ini sudah malam. Ti, tidak baik kalau laki-laki dan perempuan yang bukan pasangan suami istri berduaan di malam hari, apalagi dalam satu ruangan begini. Sebaiknya, Dek Laras tidur sekarang, saya pun jua sudah merasa ngantuk, Dek,” sergahNirwan terbata-bata menahan rasa gugup yang teramat. Nafasnya tak lagi teraratur.
            “Hanya sebentar, Mas. Bukan maksud Laras meminta Mas Nirwan untuk berlaku mesra terhadap Laras. Tapi Laras hanya ingin bicara,” Laras lalu mengangkat wajahnya, kini mereka beradu tatap, jantung Nirwan semakin merintih. Tak berkutik, mulutnya kelu, “Tentu, Mas sudah tahu perihal kedatangan Laras ke rumah ini untuk apa. Sudah seminggu Mas, saya di sini. Tapi, Mas seolah tidak tahu-menahu tentang keberadaan Laras ini. Apakah, Mas Nirwan tahu tentang perjodohan kita ini? Apakah Mas Nirwan keberetan?” tanya Laras beruntun. Lama terdiam, Nirwan belum menjawab apa-apa. Ia tak lagi berani menatap mata sejuk namun menusuk itu. Nirwan tak sanggup, mata itu seolah-olah menuntutnya untuk berterus terang.
            “Saya lelah, Dek Laras. Besok, pagi-pagi sekali saya sudah harus berangkat ke kantor, jadi saya harus betul-betul menjaga stamina saya. Maaf, ini sudah larut sekali, saya harus sisihkan waktu saya untuk beristirahat,” jawaban yang bukan Laras inginkan. Laras betul-betul kecewa mendengarnya.
            “Laras akan menunggu jawaban dari, Mas,” ucap Laras terakhir lalu meninggalkan ruangan itu, menyisakan helaan nafas panjang dari Nirwan.
            Keesokan paginya, di meja makan. Laras tak melihat sosok Nirwan di sana. Sedih hati Laras, wajahnya menjadi murung. Nirwan betul-betul menjauhinya, pikirnya.
            “Nirwan pagi sekali sudah berangkat ke kantornya, ada meeting pagi katanya hari ini,” cetus Ibu Halimah.
            “O, begitu ya, Bi,” sahut Laras tak bersemangat.
            “Tapi dia menitipkan ini untukmu,”balas Ibu Halimah sembari memberikan selembar kertas puth terlipat rapi pada Laras.
            “Surat, Bi?” Laras menatap heran, “apa isinya, Bi?” tanyanya lagi.
            “Entahlah, Bibi tak berani membacanya. Pesan Nirwan harus sampai ketanganmu tanpa ada orang lain terlebih dahulu mengetahui isinya,”
            “O, begitu ya. Laras penasaran apa isi suratnya. Laras pamit ke kamar dulu ya, Bi!”seru Laras riang. Wajahnya yang tadi tampak pahit kini berubah manis, semanis selai srikaya pagi ini yang melapisi kepingan-kepinga roti tawar yang terhidang di atas meja makan.
           
Di kamarnya, Laras diam mematung sambil menatap isi surat itu. Pada raut wajahnya tak  menunjukan kegembiraan, malah tenggorokkannya beberapa kali terlihat naik-turun, dan beberapa kali ia menghela nafas berat.
            Assalamualaikum...
            Dek Laras, maaf, hanya lewat surat ini saya bisa menjawab pertanyaan Dek Laras semalam. Semoga jawaban saya ini bisa melegakan hatinya Dek Laras.
Bismillah...
Sesungguhnya saya telah memilih wanita yang akan menjadi calon saya, jauh sebelum ayah dan ibu meminta Dek Laras untuk datang kemari. Memang salah saya yang tak membicarakan terlebih dahulu pada kedua rangtua saya, malah mengulur-ulur waktu, akhirnya jadi begini.Sayasedang dalam keadaan sulit, Dek. Tapi cepat atau lambat saya tetap akan bicarakan pada mereka. Saya harap, Dek Laras mengerti. Bukan maksud tak senang denganmu, tetapi saya sudah ada pilihan. Itu saja kiranya dari saya, sekali lagi saya ucapkan maaf.
Wassalam...

Nirwan

            Airmatanya tumpah ruah kini. Cinta sudah terlanjur dalam. Harapan sudah jauh tertanam. Tak disangka nyatanya kasih bertepuk sebelah tangan. Namun kepalang tanggung, Laras sudah jauh melangkah dari desa ke kota. Toh, itu juga permintaan dari kedua orangtua Nirwan yang rela menjemput Laras. Ia takkan mundur.
            Siang itu, ia meminta Pak Karman, sopir pribadi keluarga Pak Haryo untuk mengantarkannya ke kantor Nirwan. Dengan beralasan kepada Bu Halimah danPak Haryo ingin melihat-lihat kantor Nirwan sekalian mengantarkan makan siang untuknya.

            Di sebuah kafe mereka duduk berhadap-hadapan. Lama berdiam, hening. Akhirnya Nirwan memutuskan untuk memecah kebisuan itu.
            “Bagaimana kabar Dek Laras, hari ini?” tanya Nirwan canggung, Laras tersenyum hambar mendengarnya.
            “Pertanyaan itu rasanya kaku sekali ya, Mas,” sahutnya masih dengan senyumnya, “Ya, saya kurang baik,” jawab Laras jujur, nadanya berubah dingin.
            “Dek Laras jujur sekali,”
            “Kasihan hati Laras nantinya, Mas, kalau Laras berbohong,” sahutnya tajam.
            “Apa yang mengantarkan Dek Laras hingga kemari? Apa karena surat tadi pagi?”
            “Iya! Siapa namanya, Mas, calon Mas Nirwan itu?” tanya Laras tak sabaran, wajahnya nampak tenang tidak kontras dengan suasana hatinya yang kini sedang pilu.
            “Kamila,” jawab Nirwan singkat, hampir berbisik.
            “Kapan rencananya Mas akan melamar dia?”
            “Belum ada rencana,”
            “Bagaimana dengan Paman dan Bibi? Kapan, Mas akan kasih tahu mereka?”
            “Belum ada rencana juga,”
            “Kalau begitu, Laras masih ada kesempatan, kan?
            “Untuk?”
            “Mengambil hati Mas untuk saya,” jawab Laras santai tanpa beban, ditatapnya lekat-lekat mata Lelaki yang telah berhasil mengambil separuh hatinya itu. Nirwan hanya membisu, ia justru mengalihkan pandangannya dari tantapan mata Laras yang penuh arti padanya. Setengah pasrah, Laras masih menunggu jawaban dari Nirwan.
            “Silahkan! Kalau Dek Laras mau mengusahakannya,” jawab Nirwan datar setelah lama diam.
            “Tiga puluh hari untuk hati Mas Nirwan, Laras akan gunakan waktu satu bulan itu untuk merebutnya dari Kamila,” tukas Laras tegas. Lalu ia diam sejenak mencari jeda untuk meyakini kata-kata berikutnya, “Mas, juga mendapat keuntungan. Kalau seandainya nanti Laras tidak berhasil atas usaha Laras, tanpa Mas minta, Laras akan pergi dari kehidupan Mas Nirwan.”
Nirwan tiada bergeming, bibirnya serasa kelu ingin bicara. Laras mengehela nafas lega, puas dengan apa yang dikatakannya. Nirwan yang sejak tadi hanya bisu, menatap nanar pada Laras. Sulit ia percayai, gadis desa yang tampaknya lugu, bisa berkata nekat begitu. Belum pernah Nirwan bertemu dengan perempuan blak-blakan semacam Laras. Hatinya makin kacau, Nirwan membuang pandangannya jauh-jauh menembus lapisan udara.
“Gunakan waktumu sebaik-baiknya, Laras!” desisnya lirih.
“Sudah pasti! Ini makan siang untuk Mas, sengaja saya bawakan dari rumah. Saya pamit pulang, jaga diri Mas baik-baik.”
            Sentuhan angin kota dan angin pedesaan memang jauh berbeda. Lembut nan sejuk, sedang di kota, panas dan pengap. Kondisi yang masih hijau dan asri, kembali Laras rasakan setelah tiga puluh tujuh hari ia menghabiskan waktunya di kota, di kediaman keluarga Pak Haryo, hanya untuk satu tujuan. Hati dan cinta Nirwan.
            “Apa kamu tidak akan menyesal nantinya?” tanya Ibu Julaiha, masih kurang yakin dengan keputusan putrinya.
            “Tak akan, Bu. Ini sudah keputusan yang tepat,” jawab Laras mantap.
            “Bukankah kemarin di telepon, Ibu Halimah bilang, katanya Nirwan kelihatannya sedih atas kepergian kamu, itu berarti dia juga mencintaimu,”
            “Kalau dia cinta, bukan Bibi Halimah yang telepon, Bu. Harusnya dia. Kalau benar cinta, dia akan datang kemari, tanpa Laras minta,” tegas Laras getir, pahit ia rasa tenggorokannya, sekuat hati ia menahan isaknya. Laras langsung menghambur ke kamarnya meninggalkan ibunya seorang.
           
Adalah satu kenangan manis, namun juga pahit untuk diingat. Entah sadar atau tidak, Nirwan dengan damainya mendaratkan satu kecupan hangat itu di kening Laras. Terasa bahwa Nirwan tengah mencurahkan sayangnya pada Laras. Ia merasakan itu. Ia bahagia. Tapi apalah mau dikata, seperti tulisan di pasir pantai yang di terjang gelombang laut. Terkikis habis tak berbekas. Lepas dari hari indah itu. Hanya satu hari. Hari-hari berikutnya Nirwan seolah tak pernah terjadi apa-apa antara dirinya dan Laras. Ia sengaja melupakannya.
            Hari terakhir, Laras sudah kehabisan cara. Ia pun mulai kecewa dengan sikap Nirwan terhadapnya. Laras tak mengerti, manusia seperti apakah Nirwan itu. Dan seperti janjinya,
            “Laras kalah, Mas. Laras, sudah kalah. Cara yang Laras punya, sudah Laras gunakan semuanya. Tapi..., nampaknya benteng pertahanan Mas sangat sulit Laras tembus. Tak bisa diruntuhkan. Sekalipun runtuh, ia berdiri lagi. Dan Laras mental olehnya. Seperti janji Laras, Laras akan pergi.”
            Nirwan tak memintanya untuk tinggal, tak juga meminyuruhhnya untuk pergi. Diam, lagi dan lagi hanya diam. Kegalauan hatinya membuatnya bimbang untuk memutuskan.
           
Laras jadi lebih pendiam dari sebelumnya, sebelum ia pergi ke kota. Ayah dan ibunya turut menyesalkan perjodohan itu. Akhirnya hanya membuat anak gadis mereka terluka hatinya. Laras jadi sering melamun. Seminggu kemudian datang telepon yang entah dari siapa. Laras tak punya pilihan lain untuk tidak mengangkat telepon itu, sebab kedua orangtuanya sedang pergi. Ia khawatir kalau-kalau itu telepon darikota lagi, karena hatinya sedang enggan untuk berbicara dengan keluarga pak Haryo, terutama pada Nirwan. Tapi ia tetap harus menyabutnya. Telpon dari keluarga Pak Haryo atau bukan, ia tak bisa mengabaikannya.
            “Assalamualaikum, dengan siapa ini?” sahut Laras.
            “Laras? Ini saya, Nirwan,” jawab orang di seberang telepon, mendengar nama dan suaranya mendadak membuat Laras pucat. Tak disangkanya, Nirwan akan menelpon. Seketika setitik, dua titik harapan itu muncul lagi.
            “Tidak! Tidak, saya tak boleh berharap lagi!” batin Laras.
            “Halo! Ini Laras?” tanyanya lagi meyakinkan.
            “Iya, saya Laras. Ada perlu apa, Mas menghubungi?” sahutnya ketus.
            “Nadamu berubah, Laras. Kamu masih marah sama saya?”
            “Untuk apa saya marah, tak berguna,”
            “Bahkan, sudah pandai berbohong pula,”
            “Sudahlah, Mas jangan membuang-buang waktu Mas hanya untuk bicara sama saya,”
            “Kalaupun tadi ada Bibi atau Paman, saya juga tidak keberatan bicara sama mereka saja,” sahut Nirwan dengan nada santai, alhasil membuat Laras menelan ludah, “saya hanya ingin menyampaikan pada Dek Laras dan keluarga di sana, bahwa saya...” ucap Nirwan ragu-ragu.
            “Mas Nirwan ingin menikah?”
            “Iya, Dek Laras,” jawabnya melemah. Nafas Laras tertahan, ia menahan sesak di dadanya, “minggu depan, saya dan keluarga akan datang ke sana. Siapkan penghulunya!
           

           

           


Sabtu, 26 Agustus 2017

Lindawati RA, Rindu yang Menari


                                                  Rindu yang Menari



Dermaga yang Bisu
Puisi:
Lindawati RA
Kala pagi tertuliskan sebuah kisah
Ah, tentang masa lalu
Aku dan kamu
Kisah asmara yang telah berlalu
Bak  kapal berlayar meninggalkan dermaga
Bersama angin ia kembali berkelana
Demi laut cinta yang menari kegirangan disapu ombak. Hasrat.
Aku dermaga yang bisu
Hanya membatu saat dia, asmara
Tak lagi padaku
Aku dermaga yang bisu
Ucapku kelu saat dia, asmara
Tak lagi terikat kuat pada tiang jiwaku
Dan aku dermaga yang bisu bahkan dungu
Saat dia, asmara melambaikan tangan dan berkata
“Engkau kini masa laluku!”
Aku terjatuh dan tersedu
Menjadi dermaga yang pilu

Menangisi asmara yang tak mau bersatu.







Amukan Rindu
Puisi: Lindawati RA
Malam yang damai menjadi saksi, akan amukan rindu
Dalam sendu kusebut namamu, wahai kalbuku.
Alunan musik syahdu, malah terdengar  bagai sebuah sayatan pilu, mengiris-iris waktu
Menciptakan jarak, menjadi rindu yang tak kunjung temu
Oh, rinduku...
Mataku ingin basah, agar luap seluruh rasa
Kupanggil lirih, cinta...
Kutawarkan jiwa ini dalam mimpi kala raga terlelap
Agar temu yang dijunjung harap terengkuhkan
Rindu, siksa, bahagia
Nafasku panas akan tunggu yang kian mendidih
Rintih oh rintih
                                        Rindu merintih
Berkasih sedih dalam harap letih
Bibir berucap pasih
aku rindu, kasih.




Lagi dalam Dosa”
Puisi:
Lindawati RA
Aku sudah  jauh sekali melangkah
Wahai Rabb-ku
Sungguh, tiada hati ini tergerak untuk kembali
Entah kiranya kapankah akhirnya
Siapalah yang patut kusalahkan atas kehancuran ini, atas kekacauan ini?
Kacau-ku berangkat dari sepiku yang lalu
Hitamku berangkat dari dahaga cinta yang menagih untuk dilepaskan, dipenuhi, dipuasi
Cinta ini bernafsu, cinta itu bernafsu
Dan aku salah dalam bernafsu
Nafsu yang membuai yang melenakan dengan keindahan dan kenikmatan yang menipu
Dan bodohnya aku tahu ini tipuan
Dan gilanya, tetap ia kulakukan
Tuhan, apakah ini cobaan?
Bisakah ini dikatakan cobaan?
Sedang aku kini kotor
Bukankah biasanya bagi orang-orang sucilah cobaan dan ujian itu ada?
Supaya ia makin taqwa
Peringatanlah dan teguranlah mestinya yang pantas bagi si badan bernoda ini
Azab pantaslah buat selimut si pendosa
Wahai Rabb
Kiranya sampai kapankah daku terlena, dalam lezatnya dosa yang tiada iba?
Aku kini tengah berlayar di lautan dosa
Semua gerak dan langkah yang kulakukan, dalam sadar aku hidup akrab berkawan dia si maksiat yang biadab
Namun...
Di tengah lengahnya aku  berlayar, ke timur, ke barat, selatan dan utara
Kadang-kadang, bisik samar semilir angin laut masih menaruh iba padaku
Rasanya dia ingin menarikku, membelokkan kapalku
Untuk kembali berlayar ke arah yang semestinya
Aku tersentuh oleh halus bisiknya
Keinginan kembali aku ada
Keinginan untuk suci lagi pun aku ada
Karena itulah, aku bersyukur
Tapi...
Apalah daya si angin yang halus
Dibandingkan sang badai laut yang mengamuk, menghempas. Buasnya.
Kini...
Lagi ia memagutku
Lagi aku bergelung dengannya
Lagi aku dalam dosa
Dan lagi aku dalam nista yang tiada hingga
Lagi dalam lezatnya nafsu dunia yang celaka
Lagi dan lagi




Pulang

Puisi: Lindawati RA
Aku merindu...
Pada langit lama yang menaungi
Pada tanah yang dulu
wadah si kaki kecil berlari
Kini, jauh telah ia ayunkan langkahnya
Lepas dari langit dan tanah lama
Hingga lena dibuai masa di muka
Lupa...
Dan kini, langit yang kutatap baru, kelabu sudah
Tanahnya harum menjajikan hari indah di masa senja, telah ubah
Tatapku semakin jingga
Ah, aku yang ingusan hadir di sudut mata
Tawa renyah kala itu, senyum getir kala kini
Hariku semakin saja usang
Angan pun jua telah hilang
Kutatap diri, kini berubah malang
Inilah rinduku yang telah bertandang
Menjadikan aku di tanah ini usang
Mengajakku kembali pada negeri seribu kenangan
Aku rindu kampung halaman
Aku ingin pulang
Di sini, aku bak mayat berjalan kesasar
Terkubur hidup-hidup dalam kegamangan kasih Ibu
Lengang pula bagai tiada Ayah
Oh, mataku basah
Aku, telah lelah
Biarlah kuhirup udara basah
mencium sejuk dalam rongga dada
Mencari damai dalam lembabnya cuaca
mengikis usang, menghadirkan riang
Kujamu rindu dalam remang, melepas senyum penuh tenang
Oh, usangku izinkan aku berkenang
Menerawang jingga di langit senja
Biarlah aku pulang dalam senang


Nelangsa

Oleh : Lindawati RA

Nelangsa jiwa, meronta menyumpahi duka
Jerit luka sontak membuai lara
Terpekur dalam kacau rasa tak bermuara
Aku merana dalam dunia hampa warna
Tiada janji yang terpenuhi
Mimpi seakan berlari tak ingin mendekati
Putus kini putus, tali telah rontok
Patah dan patah, kayu telah rapuh
Citaku bak tali rontok
Harapku bak kayu rapuh
Aku, telah jatuh
Bulan tak lagi berarti kala ia telah redup
Matahari tak lagi di harap nyala kala langit menangis
Oh, kini diri tak lagi kebanggaan
Aku pulang  kembali kepangkuan ibunda
Mengadu tentang kemalangan
Membawa berita kegagalan
Malu kini wajah menatap dunia
Tenggelamkan diri  dalam pelukan damai sang ibunda
Bersama derai keputusasaan
                                        Aku, nelangsa