Minggu, 10 September 2017
Kamis, 07 September 2017
Cerpen "30 Hari Untuk Hatinya"
30 Hari untuk Hatinya
Cepen : Lindawati RA
Siapa yang tak
senang dijodohkan dengan lelaki yang lahir dari anak orang yang berada serta berpendidikan.
Tak perlu banyak syarat. Kedua orangtua dari pihak wanita langsung mengiyakan.
“Bagaimana, Bapak
Ismail dan Ibu Julaiha dengan perjodohan ini?”
“Kalau kami
sebagai orangtua Laras sih setuju-setuju saja, Pak, Bu. Apalagi kita ini
kan sudah lama kenal, begitu juga dengan Larasdan Nirwan, hanya saja mereka
sudah lama tak jumpa,” sejak tadi Laras hanya tertunduk diam menyembunyikan
wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus.
“Bagaimana, Nak
Laras, apa Nak Laras tidak keberatan dengan perjodohan ini?” tanya Pak Haryo,
ayah Nirwan.
“Sa, saya
bagaimana Ibu dan Bapak saja, Paman,” jawab Laras terbata. Perbincangan hangat
namun juga serius itu berakhir menggembirakan. Serentak tawa renyah pecah
berhamburan memenuhi ruang tamu
sederhana itu.
Usai pembicaraan serius itu, Laras langsung
diboyong ke kota oleh ayah dan ibu Nirwan. Segala keberangkatan berjalan dengan
lancar hingga sampai dengan selamat ke tempat tujuan. Laras tak kunjung reda
jua hatinya. Berdebar. Karena akan bertemu dengan sang calonnya yang terakhir
kalinya ia bertemu saat usianya dua belas tahun, dan Nirwan tiga tahun lebih
tua darinya. Tak disangkanya orangtua Nirwan akan menjodohkan putra mereka
dengannya. Padahal Laras hanyalah gadis desa tamatan SMA.
Sudah seminggu Laras berdiam di rumah keluarga Pak Haryo.Sosok
Nirwan tak lagi hanya dalam bayangan-bayangan Laras saja. Setiap hari ia telah melihat
rupa dan wujudnya. Tampaklah Nirwan, laki-laki yang berpendidikan dan berilmu,
cerah berkharisma. Namun sikapnya dingin dan cuek pada Laras. Laras yang diceritakan
sejak awal bagaimana sosok Nirwan yang sekarang,ia sudah jauh berharap. Dan
harapan itu kepalang tanggung, kuncup bunga cintanya telah mekar.
Seminggu datar. Mereka berpapasan saja, bicara seadanya, melihat
sekenanya. Tiada ubahnya sikap Nirwan pada Laras. Padahal ia menunggu-nunggu
simpatik itu. Hingga akhirnya membuat Laras tak tahan lagi, ia nekat untuk
menemui Nirwan di ruang kerjanya.
Tok..tok..tok...!
“Masuk!” Dengan
nada enteng tanpa bertanya siapa, Nirwan menyilakannya untuk masuk. Di ruang
kerjanya, seperti biasanya Nirwan masih sibuk dengan berkas-berkasnya.
“Silakan diminum
Mas, kopinya,” terdengar suara lembut mengisi ruangan itu, berbeda dari suara
biasanya, suara ibunya, Halimah.
“Laras?” Nirwan
terlonjak kaget, wajahnya mendadak pucat, “Kenapa, Dek Laras yang mengantarkan
kopi ini, Ibu ke mana?”
“Bibi Halimah sudah
tidur, Mas. Tadi beliau berpesan agar saya membuatkan kopi untuk Mas Nirwan,”
jelas Laras dengan tutur kata yang teratur dan sopan.
“O, o...begitu, yasudah
terimakasih. Sebaiknya, Dek Laras pun segera tidur,sudah larut malam,” pinta Nirwan seolah ia menunjukkan
sikap pedulinya pada Laras. Masih tersisa rasa kagetnya, namun ia tetap berusaha
tenang. Dalam pembicaraannya dengan Laras, Nirwan tak pernah beradu tatap
dengannya. Nirwan terlalu dingin, atau mungkin takut, entahlah. Ia menyadari
tatapan mata Laras yang dapat menembus jantungnya itu.
“Saya belum
mengantuk, Mas. Saya ingin di sini barang sebentar bersama Mas Nirwan,” ucapnya
berani, namun masih halus dan sopan tak terdengar nada nakal dari tuturnya.
Nirwan mendadak kelabakkan. Kali ini ia beranikan diri untuk menatap Laras,
untung saja gadis itu menunduk.
“Ta, tapi ini
sudah malam. Ti, tidak baik kalau laki-laki dan perempuan yang bukan pasangan
suami istri berduaan di malam hari, apalagi dalam satu ruangan begini.
Sebaiknya, Dek Laras tidur sekarang, saya pun jua sudah merasa ngantuk, Dek,”
sergahNirwan terbata-bata menahan rasa gugup yang teramat. Nafasnya tak lagi
teraratur.
“Hanya sebentar, Mas.
Bukan maksud Laras meminta Mas Nirwan untuk berlaku mesra terhadap Laras. Tapi
Laras hanya ingin bicara,” Laras lalu mengangkat wajahnya, kini mereka beradu
tatap, jantung Nirwan semakin merintih. Tak berkutik, mulutnya kelu, “Tentu,
Mas sudah tahu perihal kedatangan Laras ke rumah ini untuk apa. Sudah seminggu
Mas, saya di sini. Tapi, Mas seolah tidak tahu-menahu tentang keberadaan Laras
ini. Apakah, Mas Nirwan tahu tentang perjodohan kita ini? Apakah Mas Nirwan
keberetan?” tanya Laras beruntun. Lama terdiam, Nirwan belum menjawab apa-apa.
Ia tak lagi berani menatap mata sejuk namun menusuk itu. Nirwan tak sanggup,
mata itu seolah-olah menuntutnya untuk berterus terang.
“Saya lelah, Dek
Laras. Besok, pagi-pagi sekali saya sudah harus berangkat ke kantor, jadi saya
harus betul-betul menjaga stamina saya. Maaf, ini sudah larut sekali, saya
harus sisihkan waktu saya untuk beristirahat,” jawaban yang bukan Laras
inginkan. Laras betul-betul kecewa mendengarnya.
“Laras akan
menunggu jawaban dari, Mas,” ucap Laras terakhir lalu meninggalkan ruangan itu,
menyisakan helaan nafas panjang dari Nirwan.
Keesokan paginya,
di meja makan. Laras tak melihat sosok Nirwan di sana. Sedih hati Laras,
wajahnya menjadi murung. Nirwan betul-betul menjauhinya, pikirnya.
“Nirwan pagi
sekali sudah berangkat ke kantornya, ada meeting pagi katanya hari ini,”
cetus Ibu Halimah.
“O, begitu ya,
Bi,” sahut Laras tak bersemangat.
“Tapi dia
menitipkan ini untukmu,”balas Ibu Halimah sembari memberikan selembar kertas
puth terlipat rapi pada Laras.
“Surat, Bi?” Laras
menatap heran, “apa isinya, Bi?” tanyanya lagi.
“Entahlah, Bibi
tak berani membacanya. Pesan Nirwan harus sampai ketanganmu tanpa ada orang
lain terlebih dahulu mengetahui isinya,”
“O, begitu ya.
Laras penasaran apa isi suratnya. Laras pamit ke kamar dulu ya, Bi!”seru Laras
riang. Wajahnya yang tadi tampak pahit kini berubah manis, semanis selai
srikaya pagi ini yang melapisi kepingan-kepinga roti tawar yang terhidang di
atas meja makan.
Di kamarnya, Laras diam mematung sambil menatap isi surat itu. Pada
raut wajahnya tak menunjukan kegembiraan,
malah tenggorokkannya beberapa kali terlihat naik-turun, dan beberapa kali ia
menghela nafas berat.
Assalamualaikum...
Dek Laras,
maaf, hanya lewat surat ini saya bisa menjawab pertanyaan Dek Laras semalam.
Semoga jawaban saya ini bisa melegakan hatinya Dek Laras.
Bismillah...
Sesungguhnya saya telah memilih wanita yang akan menjadi calon
saya, jauh sebelum ayah dan ibu meminta Dek Laras untuk datang kemari. Memang
salah saya yang tak membicarakan terlebih dahulu pada kedua rangtua saya, malah
mengulur-ulur waktu, akhirnya jadi begini.Sayasedang dalam keadaan sulit, Dek.
Tapi cepat atau lambat saya tetap akan bicarakan pada mereka. Saya harap, Dek
Laras mengerti. Bukan maksud tak senang denganmu, tetapi saya sudah ada
pilihan. Itu saja kiranya dari saya, sekali lagi saya ucapkan maaf.
Wassalam...
Nirwan
Airmatanya tumpah
ruah kini. Cinta sudah terlanjur dalam. Harapan sudah jauh tertanam. Tak
disangka nyatanya kasih bertepuk sebelah tangan. Namun kepalang tanggung, Laras
sudah jauh melangkah dari desa ke kota. Toh, itu juga permintaan dari kedua
orangtua Nirwan yang rela menjemput Laras. Ia takkan mundur.
Siang itu, ia
meminta Pak Karman, sopir pribadi keluarga Pak Haryo untuk mengantarkannya ke
kantor Nirwan. Dengan beralasan kepada Bu Halimah danPak Haryo ingin melihat-lihat
kantor Nirwan sekalian mengantarkan makan siang untuknya.
Di sebuah kafe
mereka duduk berhadap-hadapan. Lama berdiam, hening. Akhirnya Nirwan memutuskan
untuk memecah kebisuan itu.
“Bagaimana kabar Dek
Laras, hari ini?” tanya Nirwan canggung, Laras tersenyum hambar mendengarnya.
“Pertanyaan itu
rasanya kaku sekali ya, Mas,” sahutnya masih dengan senyumnya, “Ya, saya kurang
baik,” jawab Laras jujur, nadanya berubah dingin.
“Dek Laras jujur
sekali,”
“Kasihan hati
Laras nantinya, Mas, kalau Laras berbohong,” sahutnya tajam.
“Apa yang
mengantarkan Dek Laras hingga kemari? Apa karena surat tadi pagi?”
“Iya! Siapa
namanya, Mas, calon Mas Nirwan itu?” tanya Laras tak sabaran, wajahnya nampak
tenang tidak kontras dengan suasana hatinya yang kini sedang pilu.
“Kamila,” jawab
Nirwan singkat, hampir berbisik.
“Kapan rencananya
Mas akan melamar dia?”
“Belum ada
rencana,”
“Bagaimana dengan
Paman dan Bibi? Kapan, Mas akan kasih tahu mereka?”
“Belum ada rencana
juga,”
“Kalau begitu,
Laras masih ada kesempatan, kan?
“Untuk?”
“Mengambil hati
Mas untuk saya,” jawab Laras santai tanpa beban, ditatapnya lekat-lekat mata
Lelaki yang telah berhasil mengambil separuh hatinya itu. Nirwan hanya membisu,
ia justru mengalihkan pandangannya dari tantapan mata Laras yang penuh arti
padanya. Setengah pasrah, Laras masih menunggu jawaban dari Nirwan.
“Silahkan! Kalau Dek
Laras mau mengusahakannya,” jawab Nirwan datar setelah lama diam.
“Tiga puluh hari
untuk hati Mas Nirwan, Laras akan gunakan waktu satu bulan itu untuk merebutnya
dari Kamila,” tukas Laras tegas. Lalu ia diam sejenak mencari jeda untuk
meyakini kata-kata berikutnya, “Mas, juga mendapat keuntungan. Kalau seandainya
nanti Laras tidak berhasil atas usaha Laras, tanpa Mas minta, Laras akan pergi
dari kehidupan Mas Nirwan.”
Nirwan tiada bergeming, bibirnya serasa kelu ingin bicara. Laras
mengehela nafas lega, puas dengan apa yang dikatakannya. Nirwan yang sejak tadi
hanya bisu, menatap nanar pada Laras. Sulit ia percayai, gadis desa yang
tampaknya lugu, bisa berkata nekat begitu. Belum pernah Nirwan bertemu dengan
perempuan blak-blakan semacam Laras. Hatinya makin kacau, Nirwan membuang
pandangannya jauh-jauh menembus lapisan udara.
“Gunakan waktumu sebaik-baiknya, Laras!” desisnya lirih.
“Sudah pasti!
Ini makan siang untuk Mas, sengaja saya bawakan dari rumah. Saya pamit pulang,
jaga diri Mas baik-baik.”
Sentuhan angin
kota dan angin pedesaan memang jauh berbeda. Lembut nan sejuk, sedang di kota,
panas dan pengap. Kondisi yang masih hijau dan asri, kembali Laras rasakan
setelah tiga puluh tujuh hari ia menghabiskan waktunya di kota, di kediaman
keluarga Pak Haryo, hanya untuk satu tujuan. Hati dan cinta Nirwan.
“Apa kamu tidak akan
menyesal nantinya?” tanya Ibu Julaiha, masih kurang yakin dengan keputusan
putrinya.
“Tak akan, Bu. Ini
sudah keputusan yang tepat,” jawab Laras mantap.
“Bukankah kemarin
di telepon, Ibu Halimah bilang, katanya Nirwan kelihatannya sedih atas
kepergian kamu, itu berarti dia juga mencintaimu,”
“Kalau dia cinta,
bukan Bibi Halimah yang telepon, Bu. Harusnya dia. Kalau benar cinta, dia akan
datang kemari, tanpa Laras minta,” tegas Laras getir, pahit ia rasa
tenggorokannya, sekuat hati ia menahan isaknya. Laras langsung menghambur ke
kamarnya meninggalkan ibunya seorang.
Adalah satu kenangan manis, namun juga pahit untuk diingat. Entah
sadar atau tidak, Nirwan dengan damainya mendaratkan satu kecupan hangat itu di
kening Laras. Terasa bahwa Nirwan tengah mencurahkan sayangnya pada Laras. Ia
merasakan itu. Ia bahagia. Tapi apalah mau dikata, seperti tulisan di pasir
pantai yang di terjang gelombang laut. Terkikis habis tak berbekas. Lepas dari
hari indah itu. Hanya satu hari. Hari-hari berikutnya Nirwan seolah tak pernah
terjadi apa-apa antara dirinya dan Laras. Ia sengaja melupakannya.
Hari terakhir,
Laras sudah kehabisan cara. Ia pun mulai kecewa dengan sikap Nirwan
terhadapnya. Laras tak mengerti, manusia seperti apakah Nirwan itu. Dan seperti
janjinya,
“Laras kalah, Mas.
Laras, sudah kalah. Cara yang Laras punya, sudah Laras gunakan semuanya.
Tapi..., nampaknya benteng pertahanan Mas sangat sulit Laras tembus. Tak bisa
diruntuhkan. Sekalipun runtuh, ia berdiri lagi. Dan Laras mental olehnya.
Seperti janji Laras, Laras akan pergi.”
Nirwan tak
memintanya untuk tinggal, tak juga meminyuruhhnya untuk pergi. Diam, lagi dan
lagi hanya diam. Kegalauan hatinya membuatnya bimbang untuk memutuskan.
Laras jadi lebih pendiam dari sebelumnya, sebelum ia pergi ke kota.
Ayah dan ibunya turut menyesalkan perjodohan itu. Akhirnya hanya membuat anak
gadis mereka terluka hatinya. Laras jadi sering melamun. Seminggu kemudian
datang telepon yang entah dari siapa. Laras tak punya pilihan lain untuk tidak
mengangkat telepon itu, sebab kedua orangtuanya sedang pergi. Ia khawatir
kalau-kalau itu telepon darikota lagi, karena hatinya sedang enggan untuk
berbicara dengan keluarga pak Haryo, terutama pada Nirwan. Tapi ia tetap harus
menyabutnya. Telpon dari keluarga Pak Haryo atau bukan, ia tak bisa mengabaikannya.
“Assalamualaikum,
dengan siapa ini?” sahut Laras.
“Laras? Ini saya,
Nirwan,” jawab orang di seberang telepon, mendengar nama dan suaranya mendadak
membuat Laras pucat. Tak disangkanya, Nirwan akan menelpon. Seketika setitik,
dua titik harapan itu muncul lagi.
“Tidak! Tidak,
saya tak boleh berharap lagi!” batin Laras.
“Halo! Ini Laras?”
tanyanya lagi meyakinkan.
“Iya, saya Laras.
Ada perlu apa, Mas menghubungi?” sahutnya ketus.
“Nadamu berubah,
Laras. Kamu masih marah sama saya?”
“Untuk apa saya
marah, tak berguna,”
“Bahkan, sudah
pandai berbohong pula,”
“Sudahlah, Mas
jangan membuang-buang waktu Mas hanya untuk bicara sama saya,”
“Kalaupun tadi ada
Bibi atau Paman, saya juga tidak keberatan bicara sama mereka saja,” sahut
Nirwan dengan nada santai, alhasil membuat Laras menelan ludah, “saya hanya ingin
menyampaikan pada Dek Laras dan keluarga di sana, bahwa saya...” ucap Nirwan
ragu-ragu.
“Mas Nirwan ingin
menikah?”
“Iya, Dek Laras,”
jawabnya melemah. Nafas Laras tertahan, ia menahan sesak di dadanya, “minggu depan,
saya dan keluarga akan datang ke sana. Siapkan penghulunya!”
Selasa, 05 September 2017
Senin, 28 Agustus 2017
Sabtu, 26 Agustus 2017
Lindawati RA, Rindu yang Menari
Rindu yang Menari
Dermaga yang Bisu
Puisi:
Lindawati RA
Kala pagi
tertuliskan sebuah kisah
Ah, tentang masa
lalu
Aku dan kamu
Kisah asmara yang
telah berlalu
Bak kapal berlayar meninggalkan dermaga
Bersama angin ia
kembali berkelana
Demi laut cinta yang
menari kegirangan disapu ombak. Hasrat.
Aku dermaga yang
bisu
Hanya membatu saat
dia, asmara
Tak lagi padaku
Aku dermaga yang
bisu
Ucapku kelu saat
dia, asmara
Tak lagi terikat
kuat pada tiang jiwaku
Dan aku dermaga
yang bisu bahkan dungu
Saat dia, asmara
melambaikan tangan dan berkata
“Engkau kini masa
laluku!”
Aku terjatuh dan
tersedu
Menjadi dermaga
yang pilu
Menangisi asmara
yang tak mau bersatu.
Amukan Rindu
Puisi: Lindawati RA
Malam yang damai
menjadi saksi, akan amukan rindu
Dalam sendu kusebut
namamu, wahai kalbuku.
Alunan musik
syahdu, malah terdengar bagai sebuah
sayatan pilu, mengiris-iris waktu
Menciptakan jarak,
menjadi rindu yang tak kunjung temu
Oh, rinduku...
Mataku ingin basah,
agar luap seluruh rasa
Kupanggil lirih,
cinta...
Kutawarkan jiwa ini
dalam mimpi kala raga terlelap
Agar temu yang
dijunjung harap terengkuhkan
Rindu, siksa,
bahagia
Nafasku panas akan
tunggu yang kian mendidih
Rintih oh rintih
Rindu merintih
Berkasih sedih
dalam harap letih
Bibir berucap pasih
aku rindu, kasih.
Lagi dalam Dosa”
Puisi:
Lindawati RA
Aku sudah jauh
sekali melangkah
Wahai Rabb-ku
Sungguh, tiada hati ini tergerak untuk kembali
Entah kiranya kapankah akhirnya
Siapalah yang patut kusalahkan atas kehancuran ini,
atas kekacauan ini?
Kacau-ku berangkat dari sepiku yang lalu
Hitamku berangkat dari dahaga cinta yang menagih
untuk dilepaskan, dipenuhi, dipuasi
Cinta ini bernafsu, cinta itu bernafsu
Dan aku salah dalam bernafsu
Nafsu yang membuai yang melenakan dengan keindahan
dan kenikmatan yang menipu
Dan bodohnya aku tahu ini tipuan
Dan gilanya, tetap ia kulakukan
Tuhan, apakah ini cobaan?
Bisakah ini dikatakan cobaan?
Sedang aku kini kotor
Bukankah biasanya bagi orang-orang sucilah cobaan dan
ujian itu ada?
Supaya ia makin taqwa
Peringatanlah dan teguranlah mestinya yang pantas
bagi si badan bernoda ini
Azab pantaslah buat selimut si pendosa
Wahai Rabb
Kiranya sampai kapankah daku terlena, dalam lezatnya
dosa yang tiada iba?
Aku kini tengah berlayar di lautan dosa
Semua gerak dan langkah yang kulakukan, dalam sadar
aku hidup akrab berkawan dia si maksiat yang biadab
Namun...
Di tengah lengahnya aku berlayar, ke timur, ke barat, selatan dan
utara
Kadang-kadang, bisik samar semilir angin laut masih
menaruh iba padaku
Rasanya dia ingin menarikku, membelokkan kapalku
Untuk kembali berlayar ke arah yang semestinya
Aku tersentuh oleh halus bisiknya
Keinginan kembali aku ada
Keinginan untuk suci lagi pun aku ada
Karena itulah, aku bersyukur
Tapi...
Apalah daya si angin yang halus
Dibandingkan sang badai laut yang mengamuk,
menghempas. Buasnya.
Kini...
Lagi ia memagutku
Lagi aku bergelung dengannya
Lagi aku dalam dosa
Dan lagi aku dalam nista yang tiada hingga
Lagi dalam lezatnya nafsu dunia yang celaka
Lagi dan lagi
Pulang
Puisi: Lindawati RA
Aku merindu...
Pada langit lama
yang menaungi
Pada tanah yang
dulu
wadah si kaki kecil
berlari
Kini, jauh telah ia
ayunkan langkahnya
Lepas dari langit
dan tanah lama
Hingga lena dibuai
masa di muka
Lupa...
Dan kini, langit
yang kutatap baru, kelabu sudah
Tanahnya harum
menjajikan hari indah di masa senja, telah ubah
Tatapku semakin
jingga
Ah, aku yang
ingusan hadir di sudut mata
Tawa renyah kala
itu, senyum getir kala kini
Hariku semakin saja
usang
Angan pun jua telah
hilang
Kutatap diri, kini
berubah malang
Inilah rinduku yang
telah bertandang
Menjadikan aku di
tanah ini usang
Mengajakku kembali
pada negeri seribu kenangan
Aku rindu kampung
halaman
Aku ingin pulang
Di sini, aku bak
mayat berjalan kesasar
Terkubur
hidup-hidup dalam kegamangan kasih Ibu
Lengang pula bagai
tiada Ayah
Oh, mataku basah
Aku, telah lelah
Biarlah kuhirup
udara basah
mencium sejuk dalam
rongga dada
Mencari damai dalam
lembabnya cuaca
mengikis usang,
menghadirkan riang
Kujamu rindu dalam
remang, melepas senyum penuh tenang
Oh, usangku izinkan
aku berkenang
Menerawang jingga
di langit senja
Biarlah aku pulang
dalam senang
Nelangsa
Oleh : Lindawati RA
Nelangsa jiwa,
meronta menyumpahi duka
Jerit luka sontak
membuai lara
Terpekur dalam
kacau rasa tak bermuara
Aku merana dalam
dunia hampa warna
Tiada janji yang
terpenuhi
Mimpi seakan
berlari tak ingin mendekati
Putus kini putus,
tali telah rontok
Patah dan patah,
kayu telah rapuh
Citaku bak tali
rontok
Harapku bak kayu
rapuh
Aku, telah jatuh
Bulan tak lagi
berarti kala ia telah redup
Matahari tak lagi
di harap nyala kala langit menangis
Oh, kini diri tak
lagi kebanggaan
Aku pulang kembali kepangkuan ibunda
Mengadu tentang
kemalangan
Membawa berita
kegagalan
Malu kini wajah
menatap dunia
Tenggelamkan
diri dalam pelukan damai sang ibunda
Bersama derai
keputusasaan
Langganan:
Komentar (Atom)





